-
Jefri Ahmad | Peserta 1st Anniversary Duta Damai Kaltim
Zaman semakin maju, dulunya informasi bahwa negara Jepang kalah karena di bom atom oleh Amerika Serikat memerlukan waktu berhari-hari agar tersebar dipenjuru wilayah Indonesia, bahkan seorang prajurit Jepang bersembunyi selama 28 tahun di hutan karena mengira perang dunia belum berakhir. Namun hal tersebut terbalik 180o di era sekarang. Saat ini berbagai macam bentuk informasi dengan segala kemudahannya, seperti kabar Operasi Tangkap Tangan (OTT) seorang perangkat pemerintahan tersebar dalam hitungan detik, di unggah dengan redaksi dan foto lengkap serta video yang tersebar di internet.
Dari hal tersebut bisa kita simpulkan bahwa Informasi terbukti terus berkembang pesat. Dulu dan sekarang berbeda cukup jauh pun sama halnya dengan masa mendatang tetap akan berbeda. Teknologi komunikasi dan kecepatan transfer data menjadi kunci bagaimana informasi dapat berkembang. Tentu saja hal ini membawa manfaat positif bagi peradaban manusia dengan adanya era globalisasi yang pada saat ini sangat diperlukan layaknya makanan. Namun, bukan berarti kita terlena dengan hal tersebut karena pasti ada dampak negatif yang ditimbulkan dari kemajuan hari ini.
Informasi saat ini dibutuhkan bukan hanya oleh seorang wartawan. Tapi digunakan pula oleh berbagai kalangan baik anak-anak sampai orang dewasa. Artinya, semakin banyak penggunanya tentu saja semakin banyak pula yang akan terkena dampak negatifnya. Menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia) tingkat kepemilikan akses terhadap internet di Indonesia tahun 2016 mencapai 132 juta pengguna atau sekitar 64,8% dari total populasi.
Seperti yang kita lihat dan ketahui saat ini, berbagai macam bentuk kejahatan seperti penipuan jual beli online, kasus undian berhadiah dan informasi palsu yang banyak bertebaran di internet tanpa adanya kejelasan sumber serta mengandung informasi palsu, kini kita menyebutnya dengan hoax. Dimana hoax merupakan suatu informasi palsu yang di sebarkan tanpa ada dasar dan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan serta sifatnya cenderung menguntungkan salah satu pihak tertentu.
Pada dasarnya hoax tersebut hadir dan membidik masyarakat yang menelan mentah-mentah informasi serta tidak bersikap kritisnya terhadap berita yang disajikan. Terlihat sederhana namun dampaknya luar biasa. Seperti kasus yang melibatkan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Ratna Sarumpaet terkait kasus penyebaran berita palsu atau hoax atas penganiyaan dirinya yang kemudian mengejutkan publik Indonesia serta peristiwa 22 Mei 2019 yakni ketika Said Djamalul Abidin, salah seorang demonstran berfoto dengan anggota POLRI dan mengunggahnya di sosial media yang menuduh salah satu anggota POLRI di lapangan sebagai warga negara asing.
Pada dasarnya opini dan hoax adalah hal yang berbeda. Opini merupakan sebuah pendapat yang di sampaikan dan memiliki dasar objek atau subjek tertentu berdasarkan fakta maupun data di lapangan. Dapat kita asumsikan sebuah patung adalah sebuah objek. Setiap orang yang melihat pasti memiliki sudut pandangnya masing-masing. Ada yang menilai ukirannya, ada yang menilai warnanya dan adapula yang menilai bentuk patung tersebut secara keseluruhan.
Semua orang punya sudut pandang berbeda. Namun setiap opini yang mereka sampaikan dapat tergambar dengan jelas pada patung tersebut sebagai objek pembahasan. Disinilah letak perbedaan pada hoax yang pada dasarnya meniadakan keberadaan patung tersebut atau memberikan informasi keliru terkait jumlah objek tersebut.
Dapat kita amati kondisi di Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini, dimana kondisi tersebut mengharuskan kita untuk lebih bijak dan kritis dalam menyikapi sebuah informasi terutama yang kita temukan di sosial media. Sosial media tentunya memiliki banyak dampak positif namun bukan berarti tidak memiliki dampak negatif. Perbedaan pendapat membuat banyak dari kita akhirnya bermusuhan dan terpecah belah. Nilai-nilai Pancasila sudah hampir kehilangan maknanya karena kita tidak mengamalkannya dengan baik. Banyak dari kita terpancing oleh informasi yang provokatif terhadap suatu pihak atau kelompok tertentu tanpa mengetahui kebenarannya. Banyak dari kita rentan dan mudah menjadi sasaran informasi hoax.
Dapat kita saksikan dampaknya secara langsung ketika masa-masa menjelang PILPRES beberapa waktu yang lalu hingga muncul istilah “Si Kecebong” dan “Si Kampret”. Apa yang terjadi? Indonesia yang dikenal sebagai bangsa dengan tingkat toleransi tinggi? Indonesia yang mampu hidup rukun dan damai walaupun berbeda latar belakang suku, ras dan agama? Namun fakta berbicara lain, oleh karena berbeda pilihan antara 01 dan 02 kita berseteru. Mari kita bersama untuk berkomitmen bahwa tidak ada lagi isitilah Si Kecebong dan Si Kampret, karena yang ada hanyalah Indonesia satu Berbhinneka Tunggal Ika. Mari kembali kita bangun kerukunan, kasih sayang dan toleransi.
Kategori
Dapatkan Informasi Terbaru
Subscribe dengan menggunakan emailmu agar di kemudian hari kami bisa menginformasikan sesuatu kepadamu dengan mudah!