-
Febri Kurniadi | Peserta Lomba 1st Anniversary Duta Damai
Sebagaimana diketahui, hoaks atau berita bohong marak terjadi akhir-akhir ini. Seringkali kita terkecoh oleh hal tersebut. Banyak berita di media massa terutama media sosial yang mengandung unsur hoaks. Platform media sosial seperti Facebook, Twitter atau Instagram menjadi sarana yang efektif bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menyebarluaskan berita bohong atau hoaks. Apalagi 4 dari 10 masyarakat Indonesia tergolong sebagai pengguna aktif di media sosial. Data lembaga penelitian Nielsen menyebutkan, penduduk Indonesia setiap hari dapat menghabiskan waktu berselancar di internet menggunakan komputer selama 4 jam 42 menit, browsing di telepon genggam selama 3 jam 33 menit dan menghabiskan waktu di media sosial selama 2 jam 51 menit. Bayangkan sudah berapa banyak informasi yang tersebar dari hal tersebut. Banyaknya informasi yang masuk dari berbagai belahan penjuru dunia justru menyulitkan kita untuk terlebih dahulu melakukan filter terhadap informasi yang diterima.
Kasus hoaks bukan sekali atau dua kali ini saja terjadi, melainkan sudah terjadi berulang kali. Kasus hoaks sendiri justru seringkali terjadi di jagat media sosial. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream yang independen dan kredibel serta memiliki sumber data yang lebih valid, faktual, dan terpercaya juga menyebabkan masyarakat cenderung lebih mempercayai berita hoaks yang biasanya menggunakan judul kontroversial, aktual tetapi tidak sesuai dengan realitas yang terjadi serta disajikan secara lebih menarik. Kendati demikian, media mainstream harus mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan bekerja secara profesional sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik. Hoaks sekarang bukan hanya sekadar isu nasional saja melainkan hoaks juga sudah menjadi isu global yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
Tidak dapat dipungkiri jika hoaks sulit untuk dihilangkan karena biasanya kasus hoaks selalu viral oleh akibat selalu mengangkat berita yang mengundang kontroversi dan tak jarang langsung berkaitan dengan figur publik sehingga mampu mengundang antusiasme masyarakat yang tinggi. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terdapat lebih dari 453 kasus hoaks atau kabar bohong yang beredar di media sosial. Kominfo menyebut dari angka tersebut, ada 130 kasus hoaks terkait isu politik beredar sepanjang Maret 2019. Sehingga jika dijumlahkan ada 311 kasus politik yang telah diidentifikasi dan diverifikasi oleh Kemenkominfo. Selain isu politik, hoaks juga terjadi pada isu lainnya yaitu: kesehatan, pemerintahan, agama, perdagangan, pendidikan dan yang lebih parah lagi yaitu kasus hoaks yang menimpa figur publik.
Beragam jenis hoaks terjadi namun yang paling diminati oleh masyarakat adalah kasus hoaks dengan topik mengenai sosial politik. Hoaks sosial politik diantaranya berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu. Bahkan, menurut analisis kebijakan Madya Divisi Humas Mabes Polri yakni Kombes Pol Sulistyo Pudjo Hartono menyatakan bahwa tingkat penyebaran hoaks tentang sosial politik menduduki peringkat pertama dengan capaian sekitar 91,8%. Peringkat kedua ditempati oleh kasus suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dianggap lebih efektif dalam mempengaruhi masyarakat dibandingkan politik uang (money politic) misalnya membawa nama agama, sikap yang tak adil terhadap golongan masyarakat tertentu, hingga konflik antar suku dan golongan sering menjadi trending topic di media sosial. Dan yang terakhir isu hoaks yang paling diminati masyarakat adalah isu mengenai kesehatan. Minimnya pengetahuan sekaligus kesadaran masyarakat yang masih rendah akan masalah kesehatan memicu oknum tidak bertanggung jawab untuk menyebarluaskan isu hoaks mengenai kesehatan. Beberapa isu hoaks yang sempat muncul ke publik beberapa waktu lalu adalah dampak buruk mengenai pemberian vaksin atau imunisasi yang sempat menimbulkan keresahan di kalangan orang tua terutama kaum ibu.
Sehubungan dengan hal tersebut, hoaks dapat terjadi karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tertib administrasi tanpa melakukan verifikasi akun dengan benar, sehingga banyak akun palsu yang bertebaran di media sosial tanpa bisa dipertanggung jawabkan oleh pihak manapun dan kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Tingginya konsumsi media sosial seringkali membuat kita lupa mengenai etika dalam menyampaikan sebuah informasi kepada para khalayak ramai. Selain hal tersebut, hoaks bisa terjadi karena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Menurut data UNESCO minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Selain itu, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal budaya literasi sehingga dapat dikatakan sangat wajar jika masyarakat bersikap kurang kritis terhadap informasi yang diterima.
Akibatnya masyarakat sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan yang tidak benar (hoax). Istilah “Jarimu adalah harimau-mu” menurut saya merupakan ungkapan yang tepat saat ini untuk menggambarkan betapa berbahayanya penggunaan media sosial jika tidak digunakan dengan bijak terutama di kalangan remaja yang rentan menyebarkan kasus hoaks karena dianggap masih labil, sehingga apabila tanpa diawasi akan sangat berbahaya penggunaannya. Artinya lebih banyak pengguna aktif di media sosial yang hanya bertujuan untuk menyebarkan informasi tanpa membacanya terlebih dahulu dan terkadang tanpa memahami isi serta mencari kebenaran informasi tersebut kemudian tanpa pikir panjang langsung menyebarluaskannya ke sesama pengguna media sosial lainnya, sehingga tidak mengherankan jikalau media sosial banyak diisi oleh berita hoaks.
Oleh karena itu, demi memberantas kasus hoaks kita dapat mengawalinya dari diri sendiri dengan terlebih dahulu melakukan tindakan pencegahan sebagai salah satu langkah terbaik yang dapat dilakukan hingga saat ini sebelum hal-hal tidak diinginkan itu terjadi. Dimulai dari sikap kita yaitu dengan meningkatkan tingkat literasi dan memahami informasi terlebih dahulu serta mencari sumber-sumber data yang terpercaya untuk memastikan kebenaran berita tersebut sebelum membagikannya kepada sesama pengguna media sosial lainnya. Mengingatkan ke sesama pengguna media sosial lainnya agar tidak menyebarkan hoaks, dengan memberikan informasi berupa pengetahuan mengenai bahaya hoaks melalui postingan-postingan positif yang disebarluaskan ke sesama pengguna media sosial misalnya: dampak dari penyebaran hoaks, kerugian menyebarkan hoaks, jenis-jenis hoaks dan hal-hal apa saja yang dapat disebut sebagai hoaks sekaligus mengingatkan tentang bahaya hoaks bagi persatuan bangsa Indonesia. Apabila kita menerima informasi hoaks, maka yang harus dilakukan adalah dengan berupaya untuk mengingatkan ke sesama pengguna media sosial lainnya melalui kolom komentar bahwa berita tersebut adalah hoaks dengan catatan kita memiliki data dan sumber yang terpercaya dan jika perlu segera melaporkannya kepada pihak berwenang agar tidak membuat keresahan. Berpikirlah terlebih dahulu sebelum menyampaikan sebuah informasi sesuai dengan norma dan etika yang berlaku guna menciptakan informasi berkualitas agar data yang disampaikan ke publik dapat bermanfaat bagi orang banyak sebagai upaya konkret kita dalam melawan hoaks.
Daftar Pustaka
http://internetbaik.web.id/2018/10/22/waspada-ini-3-jenis-hoax-paling-laku-di-masyarakat/
https://tirto.id/literasi-rendah-sebabkan-masyarakat-mudah-percaya-hoax-cnQa
Kategori
Dapatkan Informasi Terbaru
Subscribe dengan menggunakan emailmu agar di kemudian hari kami bisa menginformasikan sesuatu kepadamu dengan mudah!