-
Maharani Saskia Puteri | Peserta Lomba 1st Anniversary Duta Damai Kaltim
Kehidupan manusia hari ini bukan hanya bergantung pada hutan hujan sebagai pusat oksigen dunia, tapi juga pada ponsel pintar yang ada dalam genggaman kita. A whole new world atau sebuah dunia baru, frasa yang belakangan ini kembali naik daun akibat perilisan film live action dari Disney; yakni Aladdin. Bagaimana tidak, hampir seluruh informasi dan ilmu pengetahuan dapat diakses dari ponsel pintar. Berbicara tentang rupa teknologi ini secara fisik, bentuknya telah berinovasi seiring dengan perkembangan zaman. Baik format layar yang berukuran besar hingga kecil kini tersedia dengan berbagai macam pilihan. Apabila berbicara tentang kegunaan, ponsel pintar memberikan beragam kelebihan. Berselancar di internet membantu kita menemukan ilmu pengetahuan baru, mulai dari memahami ilmu alam, sosial dan lain-lain. Ketika kita memiliki kerabat yang letaknya berjauhan, ponsel pintar memudahkan komunikasi satu sama lain. Dengan sejumlah fakta di atas, ponsel pintar kini menjadi primadona masyarakat dalam setiap lini kehidupan.
Mewabahnya ponsel pintar juga berdampak pada peningkatan pengguna media sosial. Dalam penerapannya, ponsel pintar memfasilitasi publik dalam memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih praktis. Seperti yang penulis bahas pada paragraf sebelumnya yakni kegiatan bersosialisasi secara virtual. Namun tidak hanya itu, selain bisa bersosialiasi dan saling bertukar informasi melalui aplikasi media sosial yang beragam, teman-teman juga dapat menumpahkan kreativitas dengan bantuan ponsel pintar, membunuh rasa bosan melalui ketersediaan akses hiburan seperti film dan lain sebagainya. Dalam rangka berbagi informasi baik tulisan ataupun gambar, pengguna dapat memanfaatkan fasilitas Blog, Quora, Slideshare, atau Wikipedia. Kemudian, untuk menumpahkan kreativitas diri, media sosial dengan basis aplikasi yang dapat membagikan media foto, video atau musik seperti Instagram, YouTube hingga Spotify memberikan masyarakat kemudahan dalam mengasah kemampuan diri dan berkreasi secara inovatif.
Media sosial dengan basis game atau permainan seperti FarmVille dan Hago dapat dimanfaatkan sebagai sarana hiburan. Peribahasa “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui” merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan media sosial hari ini.
Dimana ada hal baik, tentu ada hal buruk yang menyertainya. Dibalik gemerlap kegunaan dan manfaat yang ditawarkan oleh pemanfaatan media sosial pada ponsel pintar, maka dampak negatif juga dapat terjadi akibat penyalahgunaan perangkat tersebut. Bagaimana tidak, akses media sosial yang cenderung murah dan mudah berdampak pada kebebasan pengguna untuk bertindak semaunya tanpa memiliki pedoman yang jelas. Dengan kecanggihan teknologi cencorship hingga filtering ditambah adanya peraturan pemerintah untuk memperkecil potensi masalah yang akan terjadi, tetap tidak dapat menjamin media sosial aman 100%. Sebut saja masalah penyebaran hoaks melalui ujaran kebencian yang baru-baru ini terjadi akibat pesta demokrasi di Indonesia beberapa waktu lalu. Pada masa kampanye, tidak sedikit oknum yang tidak mengindahkan peraturan pemerintah akan pedoman penggunaan media berbasis elektronik, salah satunya tercantum dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 45A Ayat 2 yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sebagai contoh, musisi sekaligus produser musik kawakan tanah air; Ahmad Dhani terjerat oleh pasal tersebut atas tuduhan melakukan ujaran kebencian yang diunggah di akun Twitter miliknya. Sebagai konsekuensi, ia divonis bersalah dan harus menerima hukuman penjara selama 1 tahun.
Seakan tidak cukup untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, peraturan pemerintah juga harus berjalan beriringan dengan pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh developer aplikasi media sosial itu sendiri. Misalnya, pada aplikasi media sosial Instagram baru-baru ini ditambahkan fitur pendeteksi komentar dan pemblokiran konten untuk mencegah online bullying. Dengan mengandalkan teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan, Instagram akan mendeteksi kata atau kalimat yang ditulis pengguna sebelum diunggah ke publik. Tentunya pihak pengelola dan pengembang aplikasi media sosial menerapkan aturan tersebut untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan.
Namun, tidak dapat dipungkiri jika peraturan dari pemerintah dan pengelola aplikasi media sosial bukan tolak ukur (jaminan) terciptanya iklim berinternet yang aman dan nyaman. Pada kenyataanya, penyalahgunaan dan tindak kejahatan justru semakin meningkat bahkan meresahkan publik. Kasus penipuan online, tingginya angka depresi yang dialami anak muda karena membandingkan hidupnya dengan unggahan teman-temannya, hingga peristiwa kematian yang terjadi akibat keinginan untuk mengambil foto selfie di tepi jurang merupakan sebagian dari banyak kasus memprihatinkan disekitar kita.
Oleh karena itu, campur tangan seluruh pihak untuk bekerjasama dalam menciptakan iklim bermedia sosial yang ideal harus menjadi tujuan kita semua. Pada sesi kunjungan salah seorang konten kreator; Edho Zell ke kantor Facebook di Singapura Juli 2019 lalu, tercatat bahwa terdapat 2,7 miliar pengguna Facebook, WhatsApp dan Instagram. Apabila dilihat dari segi kuantitas, hal ini bisa saja menguntungkan beberapa pihak yang ingin melakukan tindak kejahatan. Namun secara kualitas, diperlukan rasa mawas diri pengguna untuk mulai menggunakan sosial secara bijak. Hanya mengandalkan peraturan pemerintah maupun kontrol oleh developer aplikasi media sosial saja tidak cukup. Sifat mawas diri akan membuat pengguna media sosial meninjau kembali apa yang akan mereka bagikan kepada publik, entah untuk mengekpresikan diri melalui karya seni, berbagi referensi atau informasi terkini, berjualan dan lain sebagainya. Mengutip dr. Jiemi Ardian: “Media sosial itu seperti pisau. Dengan banyaknya kegunaan yang ditawarkan, pisau bisa dipakai untuk memotong daging atau bahkan untuk menusuk hingga membunuh orang. Tinggal bagaimana cara kita untuk mengendalikan kegunaan pisau itu. Selayaknya pisau, media sosial juga alat. Mau dipakai untuk apa, keputusannya tetap milik kita”. Berdasarkan analogi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan media sosial bergantung pada penggunanya. Dampak baik dan buruk hadir akibat keputusan-keputusan serta rasa mawas diri yang kita miliki. Untuk menyimpulkan apakah bermedia sosial merupakan sarana konstruktif atau destruktif tentunya berbanding lurus dengan pertimbangan-pertimbangan bijak yang dipilih oleh setiap orang. Kemudian, kesadaran seperti: “Bagaimana jejak rekam digital media sosialku? Sudah baikkah? Apakah aku akan menyesali postingan atau komentar ini dikemudian hari?” harusnya menjadi pedoman pengguna yang berfungsi sebagai alat kontrol diri.
Kategori
Dapatkan Informasi Terbaru
Subscribe dengan menggunakan emailmu agar di kemudian hari kami bisa menginformasikan sesuatu kepadamu dengan mudah!